Friday, March 2, 2012

Di Dalam Bayang-bayang Salib

Share
“ Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari  pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.” –Lukas 22 : 42

Saya pikir saat tersepi dalam hidup Yesus terjadi di Taman Getsemani, selain di salib. Di sanalah Yesus mengalami suatu kesepian yang dalam sekali, yang tak seorang pun pernah tahu. Dan di sanalah keputusan untuk membawa-Nya ke salib diputuskan. Kemenangan akhir yang akan terjadi di Kalvari sebetulnya telah terlebih dahulu dicapai di bawah pohon-pohon zaitun tua yang rimbun di Getsemani.

Nama “Getsemani” secara harafiah berarti “tempat di mana buah zaitun diperas.” Di sinilah buah zaitun diperas untuk mendpatkan minyaknya, Yesus didesak untuk mengambil keputusan untuk memberikan hidup-Nya. Di sinilah Ia berketetapan untuk menjalani hal itu.

Ia tidak kaget dengan peristiwa yang akan dialamai-Nya di kalvari. Dari sejak kelahiran-Nya Yesus hidup di bawah baying-bayang salib. Ia tahu betul apa yang akan terjadi.

Dari waktu Ia dipersembahkan di Bait Allah dan nabi Simeon berkata kepada Maria, “ Sesungguhnya Anak ini akam ditentukan untuk menjatuhkan atau mrmbangkirkan banyak orang di Israel”. (Lukas 2:34), hingga pada kematian-Nya, Ia selalu hidup di bawah baying-bayang salib.

Yesus tak henti-hentinya berbicara tentang salib. Dalam Yohanes 3, Ia berkata, “ Dan sama seperti Musa meniggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya semua orang yang percaya kepada-Nya, beroleh hidup yang kekal” (ayat 14,15). Dalam Yohanes 10 Ia berkata, “ Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya” (ayat 11). Dan Ia memproklamirkan kepada para Murid-Nya, “ Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hati ke tiga” (Lukas 9:22).

Namun di sini, di dalam Taman Getsemani ada pergumulan.
Permohonan-Nya bukan permintaan yang sembarangan. “ Jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini daripada-Ku.” Ketika akhirnya tiba saatnya bagi Yesus untuk naik ke salib, Ia gentar akan hal itu. Ia berkecut hati akan saat penentuan. Mengapa?
Secara pribadi, saya berpikir, itu bukanlah karena apa yang secara jasmani terhampar di hadapan-Nya. Sebagai Allah, Yesus tahu bahwa mereka akan merobek punggung-Nya dengan cemeti. Ia tahu, mereka akan merobek jenggot-Nya dari wajah-Nya. Ia tahu mereka akan mengetokkan paku-paku besar pada tangan-Nya an menyalibkan-Nya.

Tetapi buka itu yang paling Ia takutkan. Ia tidak gentar akan keacuhan Pilatus yang dingin pada saat si gebernur memerintahkan hukuman mati-Nya. Bukan para tentara yang tidak berhati, yang akan membunuh-Nya, tanpa berpikir dua kali, atau kesadaran para murid-Nya sendiri akan segera meninggalkan-Nya. Tak satu pun dari hal-hal itu yang menyebabkan penderitaan jiwa-Nya yang begitu luar biasa. Tidak, apa yang paling melukai-Nya adalah cawan itu sendiri – cawan yang akan menuangkan dosa dunia ke atas kepala-Nya yang tak bercacat.

Itulah yang membuat-Nya berkecut hati.
Pikirkan hal itu: Ia yang suci, benar dan murni, akan segera mengenakan pada diri-Nya sendiri  segala sesuatu yang najis, fasik dan tidak murni. Segala kebejatan moral dan keberdosaan dari setiap orang yang pernah beriman, akan dilimpahkan atas jiwa-Nya yang sempurna dan tak bersalah.

Inilah Manusia yang menaati Allah dengan sempurna. Ia tidak pernah menyenangkan pikiran yang tidak murni, tidak pernah membenci seorang pun, tidak pernah marah dengan cara yang berdosa. Sesungguhnya Ia tidak pernah berdosa sama sekali dalam sikap apa pun dalam hidup-Nya.

Namun, dalam beberapa jam sejak keberangkatan-Nya dari Getsemani, dosa dalam segala kehinaannya akan melekat pada tubuh-Nya. Dan Ia yang adalah Allah gentar untuk menanggung kecemaran dan kecurangan seperti itu.

Tidak ada hal yang paling buruk seperti itu. Apa yang paling dibenci Yesus adalah persekutuan-Nya dengan Allah akan segera terputus sementara. Ia tahu bahwa hanya dalam beberapa menit Ia akan berseru, “Eli, Eli, lama sabachthani?” yang berarti, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Yesaya menggambarkan cawan yang akan diminum Yesus sebagai cawan murka Allah (lihat Yesaya 51:17).

Dengan meminum cawan itu, penghakiman yang seharusnya jatuh atas kita, akan dilimpahkan ke atas Anak yang tidak bercacat itu, dan dalam saat yang menakutkan itu, Sang Bapa akan berpaling dari Yesus dan Yesus akan menanggung kesalahan kita… senditi..

Saya percaya, itu adalah alas an dasar untuk tangisan Yesus di dalam Taman Getsemani. Tidak ada yang membuat Tuhan gentar lebih daripada terputusnya hubungan dengan Sang Bapa.

Penderitaan-Nya atas pikiran yang menakutkan ini begitu luar biasa sehingga Lukas memberitahu kita, Ia berkeringat dan  keringat-Nya bagaikan butiran-butiran darah. Kemungkina besar Lukas menggambarkan suatu gejala yang jarang, yang dikenal sebagai hematidrosis, suatu kondisi medis yang disebabkan oleh tekanan emosi, yang luar biasa dimana pembuluh-pembuluh darah kecil dalam kelenjar keringat  pecah dan menghasilkan suatu campuran dari darah dan keringat. Penderitaan Yesus mencapai ukuran tertentu pada malam itu, sehingga tangisan-Nya memecahkan keheningan malam: “ Jikalau sekirangnya mungkin, bairlah cawan ini lalu daripada-Ku” ( Matius 26:39).

Tetapi tidak ada jalan lain. Itu adalah kehendak Bapa bahwa Yesus, Sang Anak domba Allah yang tak bercacat, harus menjadi berdosa karena kita. Dan begitulah penderitaan di Getsemani memimpin kita pada perdamaian salib.
Pendamaian Anda, dibeli di salib tetapi diputuskan di Getsemani. Untuk Anda. Ia ditinggalkan agar Anda diampuni. Ia memasuki kegelapan agar Anda dapat berjalan dalam terang. Ia melakukannya untuk Anda.  

Sumber: Greg Laurie dalam “Every Day With Jesus”

1 comments: