Tuesday, March 27, 2012

Dari Moria ke Kalvari

Share
“Lalu berkatalah Ishak kepada Abraham, ayahnya: “Bapa.” Sahut Abraham: Ya, anakku.” Bertanyalah ia: “Disini sudah ada api dan kayu, tetapi dimanakah anak domba untuk korban bakaran itu?” Sahut Abraham: “Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagi-Nya, anakku.” (Kejadian 22:7-8).

Saya pikir salah satu ilustrasi yang paling jelas dari apa yang Allah Bapa alami ketika Yesus mendekati salib adalah cerita tentang Abraham dan Ishak dalam Perjanjian Lama. Saya percaya, salah satu alas an Alah menempatkan cerita ini dalam Alkitab ialah untuk menolong kita melihat penyaliban dari cara pandang sang Bapa.

Ingatlah bahwa Abraham menjadi ayah Ishak, anaknya, ketika ia sudah tua dan ia sangat mengasihi anaknya itu. Ishak ini merupakan anak kesayangan hidupnya. Betapa gemetar hatinya ketika pada suatu hari Allah berkata kepadanya, “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korman bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.” (Kejadian 22:2).

Walaupun sangat menderita, Abraham tidak menahan kakinya. Ia tidak berbantah dengan Allah tetapi dengan taat membawa putranya ke Gunung Moria. Saya yakin bahwa kesusahan yang besar menguasai jiwanya saat ia dan putra yang dikasihinya berjalan menaiki bukit itu. Jauh di dalam hati, Abraham pasti berduka atas apa yang akan dialami putranya.

“Bapaku!” kata Ishak, “Disini sudah ada api dan kayu, tetapi dimanakah anak domba untuk korban bakaran itu?”. Abraham menjawab dengan bernubuat, “Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagi-Nya, anakku.” Abraham mungkin tidak tahu, tetapi ia sedang bernubuat tidak hanya tentang peristiwa yang akan terjadi sebentar lagi di Moria, tetapi juga tentang peristiwa yang akan terjadi ratusan tahun mendatang di bukit lain yang bernama Kalvari. Akhirnya Allah sendiri yang akan menyediakan pengorbanan Anak Tunggal-Nya.

Saat itu usia Ishak mungkin belasan tahun atau di awal duapuluhan. Saat sedang berjalan dengan ayahnya menaiki bukit itu, mungkin saja ia tahu apa yang sedang terjadi. Khususnya, ketika ia dibaringkan di atas mezbah. Mungkin ia berkata, “Yah, aku tidak tahu tentang hal ini. Marilah kita pikirkan ulang hal ini sebentar, engkau orangtua. Engkau sudah tidak lama lagi hidup. Mengapa kita tidak mempersembahkan engkau sebagai korban?”

Ishak bukanlah anak kecil yang tidak berdaya. Ia adalah seorang anak laki-laki dewasa yang dapat keluar dari keadaan berbahaya itu secara mudah. Namun dengan rela ia berbaring. Hati sang ayah hancur, tetapi ia rela menyerahkan putranya, dan putranya takluk kepada ayahnya. Ishak dengan rela hari mengikuti rencana ini.

Kita tidak tahu apa yang dikatakan Abraham dan Ishak dalam saat-saat terakhir itu sebelum Abraham mengacungkan pisau ke atas tubuh putranya. Mungkin sama sekali tidak ada yang dikatakan. Mungkin hati Abraham begitu beratnya sehingga ia tak sanggup berbicara.

Tetapi kita tahu bahwa saat Abraham mengangkat pisau, ia percaya dalam hatinya bahwa Allah akan membangkitkan putranya dari antara orang mati. Ibrani 11:19 mengatakan, Abraham bertindak atas keyakinan bahwa “Allah sanggup membangkitkannya, bahkan dari antara orang mati.”

Tetapi keyakinannya yang kuat tidak pernah sepenuhnya diuji. Sebelum pisau belati itu turun, Allah menyuruh Abraham untuk berhenti. Abraham telah lulus ujian yang sangat berat ini, dan Allah menyediakan korban bakaran, seekor biri-biri jantan yang ditangkap dari semak-semak duri. Putra kekasihnya Ishak, telah dilepaskan.

Di sanalah analogi antara Moria dan Kalvari terputus. Tidak ada penangguhan hukuman bagi Yesus. Allah Bapa tidak berhenti pada saat terakhir. Allah sendiri mengambil pisau besar murka-Nya yang dahsyat terhadap dosa dan membawanya dalam amarah yang penuh atas Putra Tunggal-Nya. Ia terpaksa melakukannya. Ia melakukan dengan kesedihan. Tetapi Ia melakukannya. Tidak ada cara lain.

Alkitab mengatakan, “tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan (dosa)” Ibrani 9:22. Juga dikatakan, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kisah Para Rasul 4:12).

Sang Bapa dengan terpaksa memberikan Anak-Nya bagi kita sebagai korban. Tetapi jangan lupa bahwa Sang Anak dengan rela menuju ke Kalvari. Alkitab mengatakan bahwa Ia meneguhkan hati-Nya seperti keteguhan gunung batu untuk pergi ke Yerusalem, dengan mengetahui apa yang menanti-Nya di sana. (lihat Yesaya 50:7).

Allah mengasihi Putra-Nya Yesus. Ia tidak mau menyerahkan-Nya. Pelimpahan seluruh dosa dunia ke atas diri Puta-Nya itu sangat menghacurkan hati-Nya. Tetapi Sang Anak Takluk. Sang Anak menuruti-Nya.

Allah berkata bahwa kita semua adalah orang berdosa dank arena itu Ia mengambil tindakan-tindakan drastic seperti itu dan mengirimkan Anak yang Ia kasihi untuk mati di salib itu. Kita tidak tahu secara rinci apa yang terjadi selama tiga jam Yesus menanggung dosa dunia atas diri-Nya, tidak seperti yang kita tahu apa yang Abraham dan Ishak mugkin bicarakan saat Abraham bersiap untuk mengorbankan putranya. Itulah misteri ilahi.

Tetapi apa yang Yesus capai bukanlah misteri. Ia memungkinkan kita hidup selama-lamanya dalam keluarga Allah, bebas dari semua kesalahan dan kehinaan, dengan menikmati kesukaan di tanga kanan Allah untuk selama-lamanya.

Lain kali apabila Anda membaca Kitab Kejadian, secara khusus perhatikan pasal 22. Dan ingatlah: apabila Ishak dilepaskan dari pisau yang tajam, maka Yesus tidak dilepaskan dari permukaan salib yang kasar itu. Tepatlah bahwa Ia tidak dilepaskan agar kita mendapatkan kehidupan kekal dalam hadirat yang kudus dan sukacita dari Allah yang Maha Besar.

“Kristus di atas salib merupakan jalan yang dilihat oleh Kalvari. Karena Ia mati bagi kita-menggantikan kita. Maka, kita adalah penghutang-penghutang. Aneh, seringkali kita bertindak sepertinya kita tidak berhutang apa-apa.”
- C.Neil Strait

SELAMAT PASKAH

Sumber: Every Day With Jesus by Greg Laudrie



Read More

Album Rohani: Sherlyn Buaya

Share







Read More

Thursday, March 22, 2012

John “Praying” Hyde

Share
Yesaya 62 mengandung saran yang aneh, yaitu menyuruh kita untuk “jangan membiarkan TUHAN tinggal tenang,” harus terus “mendesakNya” dalam doa, dan memohon dengan kegigihan keras kepala sampai ‘mau tidak mau’ TUHAN harus menjawab permintaan kita. Nabi Yesaya memberitahu mereka yang menjaga Yerusalem untuk berdoa dengan ketekunan yang tidak kenal lelah sampai janji Tuhan bagi kota itu digenapi. Ia menyampaikannya seperti dalam ayat 6 dan 7:

“Di atas tembok-tembokmu, hai Yerusalem, telah kutempatkan pengintai-pengintai. Sepanjang hari dan sepanjang malam, mereka tidak akan pernah berdiam diri. Hai kamu yang harus mengingatkan TUHAN kepada Sion, janganlah kami tinggal tenang, dan janganl biarkan Dia tinggal tenang, sampai Ia menegakkan Yerusalem dan sampai Ia membuatnya menjadi kemasyhuran di bumi.”

Sebuah terjemahan berkata, “Merekan harus mengingatkan Tuhan akan janji-janjiNya…mereka tidak boleh memberiNya ketenangan sampai Ia memulihkan Yerusalem.” (Diterjemahkan dari Today’s English Version.)

Mengingatkan Tuhan akan janji-janjiNya? Tidak memberiNya ketenangan sampai Ia menjawab? Berapa banyak dari kita berdoa seperti itu?
Seorang pria, setelah mempelajari ayat-ayat ini, melakukan hal itu, dan sebagai hasilnya ia diberikan julukan “Praying,” doa.

John “Praying” Hyde tumbuh dewasa di Carthage, Illinois, dalam sebuah keluarga pendeta. Khotbah ayahnya seringkali menyebut kebutuhan-kebutuhan di lading misi luar negeri, dan dalam doa-doa pastoralnya, ia berdoa memohonkan pekerja-pekerja untuk dikirim ke sana. Di McCormick Theological Seminari, John menyerahkan dirinya bagi penginjilan luar negeri, dan setelah lulus, ia berlayar ke Bombay.

John mulanya kewalahan dengan kesulitan iklim dan bahasa. Pelayanannya yang berpindah-pindah membawanya dari desa ke desa, tetapi khotbahnya tidak membuat orang bertobat dan ia menjadi kecil hati.

Kemudian John Hyde menemukan Yesaya 62:6-7 dan menjadikan kata-kata itu sebagai moto pribadinya. Ia mulai berdoa dengan intensitas luar biasa – melewatkan makan, melewatkan pertemuan – melewatkan janji khotbah, menghabiskan siang dan malam dalam doa. Dan dengan terangkatnya doa-doanya, kebangkitan rohani mulai turun ke atas jerih payahnya di India.

Di awal tahun 1908, ia berdoa sungguh-sungguh untuk memenangkan setidaknya satu jiwa bagi Kristus setiap hari. Tanggal 31 Desember, ia mencatat lebih dari empat ratus orang yang bertobat. Tahun berikutnya, Tuhan meletakkan dua jiwa per hari di hatinya, dan doanya sekali lagi dijawab. Tahun berikutnya ia berdoa untuk empat jiwa setiap hari dengan hasil-hasil serupa.

Suatu ketika, ia berhenti disebuah pondok untuk meminta air, dan John “Praying” Hyde memohon kepada Tuhan untuk sepuluh jiwa.
Ia memberitakan Injil pada keluarga itu, dan pada akhir kunjungannya seluruh anggota keluarga yang berjumlah Sembilan orang sudah diselamatkan. Tetapi bagaimana dengan yang kesepuluh? Tiba-tiba seorang keponakan yang sedang bermain di luar, berlari ke ruangan itu dan langsung menerima Kristus.

Karya misionari Hyde yang hebat mengalir dari kehidupan doanya seperti air dari keran, dan akhirnya ia mencurahkan seluruh tenaganya untuk berdoa, berlutut, malam demi malam, tahun demi tahun, mengingatkan Tuhan akan janji-janjiNya.

Pejuang doa perkasa ini meninggal tanggal 17 Februari 1912, kata-kata terakhirnya adalah : Bol, Visu Masih, Ki Jah – “Serukan Kemenangan Yesus Kristus”.

Sumber: Real Story For The Soul by Robert J.Morgan


Read More

Tuesday, March 20, 2012

Orang yang Memiliki Segalanya

Share
Aku mengerjakan pekerjaan-pekerjaan besar, mendirikan bagiku rumah-rumah, menanami bagiku kebun-kebun dan taman-taman, dan menanaminya dengan rupa-rupa pohon buah-buahan; aku menggali bagiku kolam-kolam untuk mengairi dari situ tanaman pohon-pohon muda. Aku membeli budak laki-laki dan perempuan dan ada budak-budak yang lahir di rumahku; aku mempunyai juga banyak sapid dan kambing domba melebihi siapapun yang pernah hidup di Yerusalem sebelum aku. (Pengkhotbah 2:4-6).


Jika Anda pernah mengunjungi Tanah Kudus, maka tidak diragukan lagi, Anda pasti telah menyaksikan sisa-sisa karya Salomo yang tercatat di dalam ayat 4-7 itu. Kendati tiga ribu tahun telah berlalu sejak Salomo bertakhta di Yerusalem, sisa-sisa pekerjaan bangunannya yang besar terlihat jelas di daerah itu. Para arkeolog telah menemukan kandang-kandang ternaknya, kota-kota yang didirikannya, dan di bawah Bait Suci di Yerusalem merekan telah menggali dan menemukan batu-batu besar dengan jumlah yang amat banyak, yang berfungsi sebagai fondasi bangunan Bait Suci itu sendiri.

Salomo menghabiskan waktu tujuh tahun untuk membangun Bait Suci (1 Raja-raja 5-6) dan tiga belas tahun untuk membangun istananya (1 Raja-raja 7).
1 Raja-raja 9:17-19 menambahkan sebagai berikut: “ Maka Salomo memperkuat Gezer. Lagi pula ada pekerja rodi yang dikerahkan di Bet-Horon Hilir, di Baalat, dari Tamar di padang gurun, yang ada di negeri Yehuda , dan di segala kota perbekalan kepunyaan Salomo, di kota-kota tempat kereta, di kota-kota tempat orang berkuda dan di mana saja Salomo menginginkan mendirikan sesuatu di Yerusalem atau di gunung Libanon atau di segenap negeri kekuasaannya. “

1 Raja-raja 10 mengisahkan tentang tahta Salomo yang terbuat dari gading berlapis emas ; kapal-kapalnya telah berlayar ke pelabuhan-pelabuhan yang jauh, lalu kembali dengan logam mulia, burung merak dank kera; dan betapa perak itu begitu banyaknya bagaikan batu-batu di Yerusalem. Seluruh dunia berusaha untuk mendengarkan hikmat Tuhan yang telah ditaruh didalam hati Salomo. Tidak pernah ada seorang rajapun yang dapat menyamai Salomo – sebelum maupun sesudahnya. Tidak pernah ada raja di dunia ini yang pernah memiliki seluruh keberuntungan duniawi yang dimilikinya.

Namun, akhir kisah kehidupan Salomo tidaklah menyenangkan. Isteri-isteri Salomo yang berasal dari negeri-negeri asing itu telah memalingkan hati Salomo dari Tuhan sepenuhnya. (1 Raja-raja 11:1-6). Tidak seperti ayahnya Daud, Salomo bukanlah seorang yang dekat di hati Tuhan. Dahulu Daud adalah seorang penjinah dan pembunuh , tetapi jauh di lubuk hatinya, dia sungguh ingin menyenangkan hati Tuhan.

Salomo di dalam segala kemegahannya, memiliki kelemahan-keleman karakter, yang menyebabkan kerajaannya pecah menjadi dua. Dai juga membawa berhala-berhala ke dalam negerinya. Kutuk karena perbuatannya itu tidak tidak dapat dihilangkan sampai ratusan tahun lamanya.

Pelajaran dari semuanya ini tidak sulit. Hikmat saja tidaklah cukup. Salomo memiliki lebih banyan hikmat daripada Daud, tetapi tiga ratus tahun kemudian, dunia mengatakan bahwa sang ayah itu lebih besar dibandingkan puteranya.
Daud memiliki banyak kelemahan, tetapi bagaimanapun juga dia memiliki hati yang rindu mengenal Tuhan.

Salomo memiliki segalanya dari sudut pandang duniawi, tetapi pada akhirnya semua kekayan itu tidak berarti karena Salomo tidak memiliki sesuatu yang terpenting dalam dirinya. Hikmat Salomo memberinya segala kemegahan , tetapi hikmatnya itu tidak dapat mencegahnya dari perbuatan menabur benih kehancurannya sendiri.
Memiliki segalanya itu tidaklah berarti, jika Tuhan tidak menjadi yang terutama di dalam hati Anda.

Doa;
“Bapa, beri aku hati yang sepenuhnya mengabdi kepadaMu. Amin.”

Sumber: Something New Under the Sun by Ray Pritchard Read More

Friday, March 2, 2012

Di Dalam Bayang-bayang Salib

Share
“ Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari  pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.” –Lukas 22 : 42

Saya pikir saat tersepi dalam hidup Yesus terjadi di Taman Getsemani, selain di salib. Di sanalah Yesus mengalami suatu kesepian yang dalam sekali, yang tak seorang pun pernah tahu. Dan di sanalah keputusan untuk membawa-Nya ke salib diputuskan. Kemenangan akhir yang akan terjadi di Kalvari sebetulnya telah terlebih dahulu dicapai di bawah pohon-pohon zaitun tua yang rimbun di Getsemani.

Nama “Getsemani” secara harafiah berarti “tempat di mana buah zaitun diperas.” Di sinilah buah zaitun diperas untuk mendpatkan minyaknya, Yesus didesak untuk mengambil keputusan untuk memberikan hidup-Nya. Di sinilah Ia berketetapan untuk menjalani hal itu.

Ia tidak kaget dengan peristiwa yang akan dialamai-Nya di kalvari. Dari sejak kelahiran-Nya Yesus hidup di bawah baying-bayang salib. Ia tahu betul apa yang akan terjadi.

Dari waktu Ia dipersembahkan di Bait Allah dan nabi Simeon berkata kepada Maria, “ Sesungguhnya Anak ini akam ditentukan untuk menjatuhkan atau mrmbangkirkan banyak orang di Israel”. (Lukas 2:34), hingga pada kematian-Nya, Ia selalu hidup di bawah baying-bayang salib.

Yesus tak henti-hentinya berbicara tentang salib. Dalam Yohanes 3, Ia berkata, “ Dan sama seperti Musa meniggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya semua orang yang percaya kepada-Nya, beroleh hidup yang kekal” (ayat 14,15). Dalam Yohanes 10 Ia berkata, “ Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya” (ayat 11). Dan Ia memproklamirkan kepada para Murid-Nya, “ Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hati ke tiga” (Lukas 9:22).

Namun di sini, di dalam Taman Getsemani ada pergumulan.
Permohonan-Nya bukan permintaan yang sembarangan. “ Jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini daripada-Ku.” Ketika akhirnya tiba saatnya bagi Yesus untuk naik ke salib, Ia gentar akan hal itu. Ia berkecut hati akan saat penentuan. Mengapa?
Secara pribadi, saya berpikir, itu bukanlah karena apa yang secara jasmani terhampar di hadapan-Nya. Sebagai Allah, Yesus tahu bahwa mereka akan merobek punggung-Nya dengan cemeti. Ia tahu, mereka akan merobek jenggot-Nya dari wajah-Nya. Ia tahu mereka akan mengetokkan paku-paku besar pada tangan-Nya an menyalibkan-Nya.

Tetapi buka itu yang paling Ia takutkan. Ia tidak gentar akan keacuhan Pilatus yang dingin pada saat si gebernur memerintahkan hukuman mati-Nya. Bukan para tentara yang tidak berhati, yang akan membunuh-Nya, tanpa berpikir dua kali, atau kesadaran para murid-Nya sendiri akan segera meninggalkan-Nya. Tak satu pun dari hal-hal itu yang menyebabkan penderitaan jiwa-Nya yang begitu luar biasa. Tidak, apa yang paling melukai-Nya adalah cawan itu sendiri – cawan yang akan menuangkan dosa dunia ke atas kepala-Nya yang tak bercacat.

Itulah yang membuat-Nya berkecut hati.
Pikirkan hal itu: Ia yang suci, benar dan murni, akan segera mengenakan pada diri-Nya sendiri  segala sesuatu yang najis, fasik dan tidak murni. Segala kebejatan moral dan keberdosaan dari setiap orang yang pernah beriman, akan dilimpahkan atas jiwa-Nya yang sempurna dan tak bersalah.

Inilah Manusia yang menaati Allah dengan sempurna. Ia tidak pernah menyenangkan pikiran yang tidak murni, tidak pernah membenci seorang pun, tidak pernah marah dengan cara yang berdosa. Sesungguhnya Ia tidak pernah berdosa sama sekali dalam sikap apa pun dalam hidup-Nya.

Namun, dalam beberapa jam sejak keberangkatan-Nya dari Getsemani, dosa dalam segala kehinaannya akan melekat pada tubuh-Nya. Dan Ia yang adalah Allah gentar untuk menanggung kecemaran dan kecurangan seperti itu.

Tidak ada hal yang paling buruk seperti itu. Apa yang paling dibenci Yesus adalah persekutuan-Nya dengan Allah akan segera terputus sementara. Ia tahu bahwa hanya dalam beberapa menit Ia akan berseru, “Eli, Eli, lama sabachthani?” yang berarti, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Yesaya menggambarkan cawan yang akan diminum Yesus sebagai cawan murka Allah (lihat Yesaya 51:17).

Dengan meminum cawan itu, penghakiman yang seharusnya jatuh atas kita, akan dilimpahkan ke atas Anak yang tidak bercacat itu, dan dalam saat yang menakutkan itu, Sang Bapa akan berpaling dari Yesus dan Yesus akan menanggung kesalahan kita… senditi..

Saya percaya, itu adalah alas an dasar untuk tangisan Yesus di dalam Taman Getsemani. Tidak ada yang membuat Tuhan gentar lebih daripada terputusnya hubungan dengan Sang Bapa.

Penderitaan-Nya atas pikiran yang menakutkan ini begitu luar biasa sehingga Lukas memberitahu kita, Ia berkeringat dan  keringat-Nya bagaikan butiran-butiran darah. Kemungkina besar Lukas menggambarkan suatu gejala yang jarang, yang dikenal sebagai hematidrosis, suatu kondisi medis yang disebabkan oleh tekanan emosi, yang luar biasa dimana pembuluh-pembuluh darah kecil dalam kelenjar keringat  pecah dan menghasilkan suatu campuran dari darah dan keringat. Penderitaan Yesus mencapai ukuran tertentu pada malam itu, sehingga tangisan-Nya memecahkan keheningan malam: “ Jikalau sekirangnya mungkin, bairlah cawan ini lalu daripada-Ku” ( Matius 26:39).

Tetapi tidak ada jalan lain. Itu adalah kehendak Bapa bahwa Yesus, Sang Anak domba Allah yang tak bercacat, harus menjadi berdosa karena kita. Dan begitulah penderitaan di Getsemani memimpin kita pada perdamaian salib.
Pendamaian Anda, dibeli di salib tetapi diputuskan di Getsemani. Untuk Anda. Ia ditinggalkan agar Anda diampuni. Ia memasuki kegelapan agar Anda dapat berjalan dalam terang. Ia melakukannya untuk Anda.  

Sumber: Greg Laurie dalam “Every Day With Jesus”

Read More